dapatkan uang KLIK disini

Senin, 10 Juni 2013

KEBENARAN TENTANG NABI ISA DALAM PERSPEKTIF ISLAM




Ditinjau dari runutan sejarah, ide turunnya Nabi Isa al-Masih menjelang akhir zaman pada awalnya berpangkal pada ide yang ada dalam teologi Kristiani. Hal ini logis sekali karena memang gagasan tersebut jauh lebih dahulu eksis ketimbang penafsiran yang ada didalam ajaran Islam yang baru ada 600 tahun hadir setelahnya.
Adapun penafsiran bahwa Yesus naik kelangit dan akan turun kembali dari langit dalam teologi Kristiani bersumber pada sejumlah ayat dari Alkitab di Perjanjian Baru. Misalnya Kisah para Rasul pasal 1 ayat 9 sampai dengan 11:
Sesudah Ia mengatakan demikian, terangkatlah Ia disaksikan oleh mereka, dan awan menutupnya dari pandangan mereka. Ketika mereka sedang menatap kelangit waktu Ia naik itu, tiba-tiba berdirilah dua orang yang berpakaian putih dekat mereka, dan berkata kepada mereka: “Hai orang-orang Galilea (yaitu wilayah dimana Yesus paling sering berada dan melayani), mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat dia naik ke surga”.
Jadi seperti halnya Yesus yang terangkat naik ke langit, maka nanti akan turun dari langit pula. Demikian pemahaman yang ada dalam teologi Kristiani. Kenaikan Yesus tersebut, terjadi setelah beliau diceritakan selamat dari peristiwa penyaliban yang dikenakan pada dirinya dan kembali ketengah komunitas para murid serta keluarga besar lainnya di Yerusalem.
Injil Lukas mencatat bahwa setelah pertemuan terakhirnya dengan para murid, Yesus atau Nabi Isa mengajak mereka semuanya keluar dari kota Yerusalem sampai didekat perbatasan kampung Bethani.
Lalu Yesus membawa mereka ke luar kota sampai dekat Betania. Di situ Ia mengangkat tangannya dan memberkati mereka. Dan ketika Ia sedang memberkati mereka, Ia berpisah dari mereka dan terangkat ke sorga. (Injil Lukas [24] :50-51)
Adapun mengenai isu terangkatnya Nabi Isa kelangit dalam perspektif Islam, selalu dikaitkan dengan ayat pada surah An-Nisaa [4] ayat 157-158 dan surah Ali Imran [3] :55 yang dianggap membenarkan konsep tersebut yang sebenarnya hanya sebuah adopsi dari kepercayaan kaum Kristiani :
Dan perkataan mereka: “Bahwa kami telah membunuh Al-Masih Isa putera Maryam, Rasul Allah”, padahal tidaklah mereka membunuhnya dan tidak juga menyalibnya, tetapi diserupakan untuk  mereka. Orang-orang yang berselisihan tentangnya selalu dalam keraguan mengenainya. Tiada pengetahuan mereka kecuali mengikuti dugaan, dan tidaklah mereka yakin telah membunuhnya. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisaa [4] :157-158)
Ketika Allah berkata: “Hai ‘Isa ! Sesungguhnya Aku akan mewafatkanmu dan akan mengangkat kamu kepadaKu serta akan membersihkan kamu dari mereka yang kafir…” (QS Ali Imran [3] :55)
Jika kita ingin jujur terhadap nash al-Qur’an diatas maka sebenarnya ayat-ayat tersebut malah sama sekali tidak ada keharusan untuk memaknai pengangkatan Nabi Isa secara fisik keatas langit sebagaimana yang terdapat dalam nash-nash di Alkitab. Kata asli untuk istilah “penyerupaan” dalam konteks surah An-Nisaa [4] :157 adalah “Syubibha lahum”.
Istilah ini ditafsirkan oleh sebagian orang dilakukan oleh Allah terhadap diri Nabi Isa al-Masih dengan proses substitusi atau pergantian wajah antara Nabi Isa dengan seseorang. Tetapi sebagian lagi memberi penafsiran dilakukan oleh Allah dengan membuat Nabi Isa al-Masih seolah berhasil dibunuh padahal beliau hanya dipingsankan oleh Allah yang akhirnya berhasil selamat. Jadi penyerupaan ini berlaku terhadap keterbunuhan diatas kayu salib.
Pihak pertama lalu menghubungkan penyerupaan dalam tafsirnya itu kepada pengangkatan yang diceritakan pada ayat selanjutnya [158] ditambah dukungan pada surah Ali Imran ayat 55. Istilah pengangkatan itu berasal dari kata “Rafa’a”.
Sehingga menurut mereka, menjadi bersesuaian maksudnya dengan penyerupaan yang terjadi pada ayat yang membahas penyaliban. Sehingga akhirnya muncullah terjemahan untuk surah An-Nisaa [4] :157 seperti berikut ini :
 “Dan karena ucapan mereka: “Sesungguhnya kami telah membunuh al-Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah”, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa”.
Padahal terjemahan tersebut bila ditinjau dari sisi lahiriah ayatnya sama sekali tidak bercerita mengenai penyerupaan Nabi Isa terhadap orang lain. Begitupula dalam hal ketidakyakinan orang-orang Israel atas orang yang mereka hukum adalah Nabi Isa. Ini merupakan bentuk penafsiran belaka dan bukan penterjemahan dari ayat yang sesungguhnya.
(Sekali lagi, silahkan merujuk pada tulisan saya  : “Apakah Nabi Isa disamarkan wajahnya ?”  yang bisa anda akses pada link http://arsiparmansyah.wordpress.com/2011/12/12/apakah-nabi-isa-disamarkan-wajahnya/ )
Gagasan naiknya seseorang kelangit antah berantah bila kita tarik lebih jauh lagi merupakan ide yang diambil dari kitab-kitab Perjanjian Lama yang masih sangat perlu untuk dikritisi. Misalnya :
Tiba-tiba datanglah kereta berapi dengan kuda berapi memisahkan keduanya, lalu naiklah Elia kelangit dalam angin badai. (2 Raja-raja [2] :11)
Jadi Henokh mencapai umur tiga ratus enam puluh lima tahun. Dan Henokh hidup bergaul dengan Allah, lalu ia tidak ada lagi, sebab ia telah diangkat oleh Allah. (Kejadian [5] :23-24)
Akan halnya penafsiran al-Qur’an surah Ali Imran ayat 55 yang dianggap mendukung pengangkatan Nabi Isa kelangit juga kurang tepat. Istilah pengunaan kata “Raf’a” pada sejumlah ayat al-Qur’an (seperti [7]:174, [12]:76, [24]:36, dan [58]:11) semuanya menunjukan kepada pengertian pengangkatan maqam atau derajat dan bukan secara jasmaniyah. Begitupula dengan maksud dari kata “Mutawaffika”  yang berarti mewafatkan. Dalam konteks surah Ali Imran [3] :55, makna dari “Tawaffa” adalah “Imatah” (mematikan), dan kematian itu telah terjadi sebelum Nabi Isa disebut telah diangkat oleh Allah. Ayat tersebut tidak bisa diputarbalikkan menjadi seperti ini:
Ketika Allah berkata: “Hai ‘Isa ! Sesungguhnya Akulah yang mengangkatmu kepadaKu dan yang mewafatkanmu.
Sebab hal yang demikian menyebabkan seolah-olah menganggap Allah telah salah menempatkan susunan kata didalam firman-Nya yang berimplikasi kepada penistaan atas kemahasempurnaan dan kemahatahuan ilahiah-Nya. Kiranya susunan ayat itu sudah sangat jelas dan tidak perlu ditukar-tukar tempatnya oleh siapapun juga sebab dengan perbuatan-perbuatan semacam ini terpaksa  akan menyebabkan firman-firman  Allah  perlu  dirubah  -sebagaimana halnya orang-orang Yahudi yang  merubah-rubah perkataan-perkataan dari tempatnya dan ini jelas sangat tercela didalam Islam. Ayat tersebut harus tetap diartikan sesuai apa yang sudah diwahyukan :
Ketika Allah berkata: “Hai ‘Isa ! Sesungguhnya Aku akan mewafatkanmu dan akan mengangkat kamu kepadaKu
Jadi ungkapan “Muttawaffika” harus tetap diartikan bahwa: Aku akan melindungi engkau wahai Isa, dari mati terbunuh  oleh kaum itu dan akan menganugerahi engkau umur panjang yang  sudah  ditetapkan bagi engkau, dan akan membuat engkau  mati secara  biasa (wajar).;  Penggunaan kata “rafi’uka  ilayya” (mengangkat  engkau  kepada-Ku) bisa ditarik persamaan dalam beberapa ayat al-Qur’an lainnya, seperti : “Rumah-rumah  yang diperintahkan Allah supaya  mereka  diangkat (turfa’a)” dalam surah An-Nuur (24) ayat 36 atau “Dan  amal salih yang akan dia angkat (yarfa’ahu) dalam surah Faathir (35) ayat 10 atau  “Allah akan mengangkat (yarfa’i) orang-orang yang beriman dari kamu.” pada surah al-Mujaadilah (58) ayat 11.
Dengan demikian, penggunaan kata rafa’a tidak selalu harus dalam  arti harfiah seperti kita mengangkat batu dari tanah keudara melainkan bisa juga dalam arti metafora yaitu dengan memberikan kedudukan, kehormatan dan martabat yang tinggi disisi Allah. Inilah yang seharusnya menjadi tafsir dan pemahaman ayat ini. Allah berfirman dalam Al-Qur’an :
 Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya para Rasul. (QS. Ali Imran [3] :144)
Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal? (QS. Al-Anbiya [21] :34)
Rasanya ayat-ayat ini sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa Nabi Isa al-Masih memang tidak diangkat dalam keadaan fisik atau berbadan jasmani. Lebih tepatnya tidak dalam keadaan masih hidup. Hal ini dikukuhkan juga oleh sabda Nabi Isa sendiri didalam al-Qur’an yang isinya sebagai berikut :
Wakuntu ‘alayhim syahiidan maa dumtu fiihim falammaa tawaffaytanii kunta anta (al)rraqiiba ‘alayhim wa-anta ‘alaa kulli syay-in syahiid(un)
Artinya : Dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu. (QS. Al-Ma’idah [5] :117)
Dalam salah satu hadis riwayat Imam Bukhari yang bersumber dari Ibnu Abbas diceritakan, Rasulullah bersabda, “Wahai manusia, kalian semua akan dikumpulkan dihadapan Allah dengan bertelanjang kaki, tidak berpakaian serta tidak berkhitan. Lalu beliau (mengutip ayat al-Qur’an dan) berkata, “Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, maka begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.” (QS. Al-Anbiyaa [21] :104).
Nabi lalu berkata, “Orang pertama yang dibangkitkan dalam keadaan berpakaian pada hari kiamat adalah Ibrahim. Lalu beberapa orang dari sahabatku akan digiring menuju neraka. Aku akan berkata, “Wahai Tuhan, mereka adalah sahabat-sahabatku!”, lalu terdengar jawaban, “Engkau tidak mengetahui apa yang mereka lakukan sepeninggalmu”. Aku akan mengatakan seperti hamba yang saleh (yaitu Nabi Isa) berkata : “adalah aku menjadi saksi terhadap mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka”. (QS. Al-Ma’idah [5] :117). Lalu akan dikatakan, “Ini adalah orang-orang yang menjadi murtad setelah engkau meninggalkan mereka” (HR. Bukhari dengan nomor hadis 149, Vol. 6 dari kitab shahihnya)
Firman Allah yang berbunyi, “Wa-innahu la’ilmun li(l)ssaa’ati falaa tamtarunna bihaa wa(i)ttabi’uuni haadzaa shiraathun mustaqiim(un) [Dan Sesungguhnya Isa itu benar-benar memberikan pengetahuan tentang hari kiamat. Karena itu janganlah kamu ragu-ragu tentang kiamat itu dan ikutilah Aku. inilah jalan yang lurus (QS. Az-Zukhruf [43] :61)] bukan bercerita tentang turunnya Nabi Isa diakhir zaman. Bila kita melihat susunan ayat ini sesudahnya maka akan jelaslah bahwa konteks ayat tersebut bercerita mengenai eksistensi Nabi Isa pada waktu beliau diutus ditengah Bani Israel pada masa lalu.
Dan tatkala Isa datang membawa keterangan dia berkata: “Sesungguhnya Aku datang kepadamu dengan membawa hikmat dan untuk menjelaskan kepadamu sebagian dari apa yang kamu berselisih tentangnya, Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah (kepada) ku. Sesungguhnya Allah dialah Tuhanku dan Tuhan kamu. Maka sembahlah Dia, Ini adalah jalan yang lurus”. Maka berselisihlah golongan-golongan (yang terdapat) di antara mereka, lalu Kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang zalim yakni siksaan hari yang pedih. (QS. Az-Zukhruf [43] :63-65)
Kita tahu bahwa sebagian besar Bani Israel, telah mereka menolak kenabian Isa al-Masih. Bermacam-macam fitnah mereka arahkan kepada beliau. Mulai dari anak hasil perzinahan, Rasul gadungan dan sebagainya sehingga akhirnya beliau dikejar-kejar untuk dihukum mati melalui penyaliban yang merupakan hasil konspirasi rabi-rabi jahat Yahudi. Pernyataan Nabi Isa dalam dakwahnya mengenai keesaan Tuhan pada ayat diatas, bisa kita paralelkan dengan sabda yang sama dari beliau pada surah Al-Maaidah [5] :72, “Padahal Al-Masih sendiri berkata:”Hai Bani Israel, sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu !”.
Begitupun dengan pernyataan beliau tentang penjelasan sebagian hal yang menimbulkan perselisihan dikalangan umatnya, bisa kita paralelkan juga dengan yang ada dalam surah Ali Imran [3] :50, “Dan (aku datang kepadamu) membenarkan Taurat yang datang sebelumku, dan untuk menghalalkan bagimu sebagian yang telah diharamkan untukmu, dan aku datang kepadamu dengan membawa suatu tanda (mu’jizat) dari Tuhanmu. Karena itu bertaqwalah kepada Allah dan ta’atlah kepadaku”.
Kaitan antara kedatangan Nabi Isa yang disebut memberitahukan pengetahuan tentang kiamat adalah tertuju pada peringatannya kepada Bani Israel tentang hakekat hidup didunia ini yang hanya sementara. Adahari esok yang menanti pertanggung jawaban semua kelakuan semasa hidup. Ini misi yang diemban oleh setiap Nabi dan Rasul –termasuk oleh Muhammad Saw. Bisa pula sabda tersebut berkorelasi dengan nubuat Nabi Isa tentang kehadiran Nabi Muhammad selaku nabi akhir zaman seperti yang tertuang dalam surah Ash-Shaaf [61] :6.
Jadi artinya konteks ayat yang menyebutkan bahwa Nabi Isa itu benar-benar memberikan pengetahuan tentang hari kiamat atau hari akhir adalah memberitakan mengenai eksistensi Rasul yang akan datang sesudah beliau menjelang akhir zaman
Dengan begitu maka tidaklah tepat bila sampai dinyatakan kitab suci al-Qur’an mendukung konsepsi kenaikan Nabi Isa secara fisik kelangit dan akan turun kembali dari kenaikannya itu. Jikapun ada yang mengatakan seperti ini, tentu hal tersebut hanyalah penafsiran sepihak dari sang mufassir. Ide-ide kenaikan Nabi Isa seperti ini, mungkin –sebagaimana klaim dari sebagian ulama—adalah pengaruh yang datang dari orang-orang Kristiani yang pindah kedalam Islam dan melakukan korelasi tafsir antara al-Qur’an dengan kitab mereka sebelumnya (Perjanjian Baru) seperti yang sudah kita bahas dibagian atas.
Tidak dipungkiri bila ada banyak hadis yang bercerita mengenai akan turunnya Nabi Isa al-Masih yang dinisbatkan kepada sabda-sabda dari Nabi Muhammad Saw. Sebagian ulama juga menyebut hadis-hadis itu mencapai tingkat yang mutawatir. Sekali lagi kita sampaikan disini bila detil dari kajian ini sudah pernah kita bahas pada buku Jejak Nabi Palsu, olehnya tidak akan kita ulangi lagi disini kecuali seperlunya saja. Satu hadis yang kita anggap mewakili ide turunnya Nabi Isa adalah :
“Demi Allah yang diriku ada di tangan-Nya, benar-benar putera Maryam akan turun di tengah-tengah kamu sebagai juru damai yang adil, lalu ia menghancurkan salib, dan harta kekayaan melimpah ruah hingga tidak ada seorang pun yang mau menerima (shadaqah atau zakat) dari orang lain, sehingga pada waktu itu sujud satu kali lebih baik daripada dunia dan isinya”.  (HR. Bukhari, Bab Nuzuli Ibni Maryam ‘alaihissalaam 6:490-491; Shahih Muslim, Bab Nuzuli ‘Isa Ibni Maryam ‘alaihissalaam Haakiman 2:189-191).
Pertanyaannya sekarang, kira-kira untuk apa sebenarnya pengutusan Nabi Isa al-Masih ini kedua kali ? Bukankah bersama kita saat ini sudah ada al-Qur’an, bukankah sudah sempurna wahyu didalam Islam, bukankah sudah diutus Nabi Muhammad yang posisinya juga sebagai “penghancur salib” dan “pembunuh babi” ? Tidakkah kehadiran Nabi Muhammad dengan konsepsi monotheisnya telah secara terang-terangan membatalkan konsepsi Trinitas yang dinisbatkan kepada ajaran Nabi Isa oleh pihak gereja ? Tidakkah kitab suci al-Qur’an secara jelas memberikan aturan-aturan tentang hal-hal yang diharamkan dan dihalalkan termasuk mengenai babi ?
Bila Nabi Isa masih hidup dan tinggal dilangit maka dilangit yang manakah Nabi Isa berada ? Apakah disalah satu planet ? Mungkinkah kita bisa menemuinya dengan perangkat teknologi antariksa tertentu disuatu masa ?
Lalu bagaimana proses kenaikannya dari bumi menuju langit itu ? Apakah seperti gambaran tokoh Superman dan Ultraman yang bisa melewati batasan udara dan melalui atmosfir bumi yang gesekannya bahkan bisa menghanguskan batu meteor dan pesawat sekalipun ?
Atau berkhayal bila Isa punya karpet terbang ala film Aladdin ? atau beliau ditidurkan lalu diangkat jasadnya seperti kasus penculikan oleh UFO dalam cerita-cerita di film Hollywood?

ilustrasi 3 kemungkinan dari cara naiknya Isa al-Masih kelangit menurut persepsi sebagian dari para mufassirin
Jika benar Nabi Isa diangkat kelangit seperti gambaran tersebut, apakah ada saksi matanya ? Jika ada bagaimana tanggapan mereka, dan apakah ada bukti penunjangnya ? Injil Barnabas yang disebut-sebut sebagai kesaksian kenaikan Nabi Isa Al-Masih tidak bisa dijadikan hujjah, sebab sudah jelas letak kepalsuannya.
Apabila memang Nabi Isa al-Masih masih hidup disuatu tempat dilangit, apa manfaat positip pengasingannya selama ribuan tahun nun jauh diatassana? Apakah tidak lebih bermanfaat bagi Isa untuk kembali kebumi dan meluruskan ajarannya yang diselewengkan orang pada masa-masa perbudakan Israel oleh Romawi ?
Bagaimanapun juga selama berabad-abad manusia ini saling bertikai dan menumpahkan darahnya salah satunya adalah karena masalah ajaran yang pernah dia bawa selama hidupnya di Palestina sekitar 2000 tahun yang silam, menjadi beban moral tersendiri baginya yang secara tidak langsung telah membuat jutaan darah anak-anak manusia tertumpahkan selama perang salib atau perang antara Katolik dan Protestan dan sebagainya.
Jika ia masih hidup saat ini dan hanya mendiamkan saja semua yang terjadi atas namanya apapun alasannya, maka Nabi Isa adalah orang yang paling bertanggung jawab atas semua kejadian tersebut. Ketika pernah pada satu pertempuran yang menegangkan, Nabi Muhammad berdoa kepada Allah agar diberi kemenangan. Karena jika beliau sampai kalah maka tidak ada lagi orang yang dapat menegakkan kebenaran sesudahnya. Bukankah inipun menjadi indikasi tersendiri bila memang diwaktu pengutusan Nabi Muhammad sudah tidak ada lagi satupun Nabi Allah yang masih hidup ? Tidakkah kita mau memikirkan sekali lagi firman Allah ini:
(Nabi Isa berkata : ) Dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu. (QS. Al-Ma’idah [5] :117)
Kebanyakan dari kita terkadang terlalu berlebihan dalam memandang sosok para Nabi dan Rasul sehingga nyaris menganggap mereka sebagai manusia langit yang sama sekali tidak tersentuh dengan berbagai permasalahan duniawiah, banyak dari kita berpikir bahwa seorang Nabi itu haruslah senantiasa berkhotbah tentang akhlak, berkhotbah tentang ketuhanan, penuh mukjizat, sakti mandraguna, suci tak bernoda dan tidak pernah melakukan kesalahan sekecil apapun, tidak mungkin bisa dilukai apalagi dibunuh dan berbagai sifat kedewaan lainnya yang akhirnya secara tidak langsung telah melakukan pengkultusan dan menaikkan status kemanusiawian mereka diatas manusia-manusia lainnya.
Al-Masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa Rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (QS. Al-Ma’idah [5] :75)
Tanyakanlah: “Siapakah yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al-Masih putera Maryam itu beserta ibunya dan siapa saja diatas bumi semuanya ?” (QS. Al-Ma’idah  [5] :17)
Dalam sejarah kenabian di al-Qur’an kita banyak melihat berbagai fenomena penderitaan dan perjuangan Rasul-rasul terbaik Tuhan. Bagaimana misalnya Nabi Ibrahim yang disebut sebagai kekasih Allah telah ditangkap dan dibakar oleh umatnya kedalam api yang membara, kita juga membaca bagaimana Nabi Yunus bisa sampai terperangkap kedalam perut ikan atau Yusuf putera Nabi Ya’kub yang terjebak kedalam sumur oleh saudara-saudaranya atau yang paling akhir adalah Nabi Muhammad sendiri yang harus hijrah ke Madinah karena intimidasi kaum kafir Mekkah dan perlakuan mereka yang buruk terhadapnya, dalam sebuah pertempuran dibukit Uhud, wajah beliau terluka dan nyaris terbunuh.
Semuanya menyajikan data-data historis insaniah para Nabi dan Rasul Tuhan yang hidup dan berinteraksi sebagaimana manusia normal lainnya. Lalu kenapa dalam hal Isa al-Masih yang umatnya disebut oleh Qur’an sebagai umat yang terbiasa membunuh para Nabi harus mendapat pengecualian dengan mengharuskannya “terhindar secara luar biasa” dari perlakuan umatnya?
Kesabaran para Nabi dalam menghadapi ujian selalu mendatangkan pertolongan dari Allah, namun tidak pernah Allah menolong dengan cara menggantikan ujian tersebut kepada diri orang lain sehingga bukan sang nabi yang menghadapi ujian namun justru orang lainlah yang mendapatkan ujian tersebut. Pertolongan Allah bekerja dengan cara yang latief (halus) melalui ujian, kesabaran, dan keteguhan dari sang Nabi dan para murid (sahabat)nya.
Injil Lukas pasal 22 ayat 43 didetik-detik menjelang penangkapan bercerita kepada kita : “Maka seorang malaikat dari langit menampakkan diri kepadanya untuk memberi kekuatan kepadanya”.
Bila yang dimaksud dengan memberi kekuatan pada ayat tersebut adalah memberi semangat agar Nabi Isa tabah menerima kehendak Allah yang akan berlaku pada dirinya, maka sekali lagi kita ajukan juga apa yang disampaikan oleh Paulus dalam Kitab Ibrani pasal 5 ayat 7 : “Dalam hidupnya sebagai manusia, ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada-Nya yang sanggup menyelamatkannya dari maut, dan karena kesalehannya, beliau telah didengarkan”. Jadi dari ucapan Paulus diatas kita bisa mengambil asumsi kuat bahwa Isa al-Masih telah ditolong oleh Tuhan dari kematian (maut) yang bisa menimpanya dalam proses yang akan dia hadapi (inilah makna dari kata-kata  “beliau telah didengarkan” yang artinya permintaan untuk selamat dari maut dikabulkan).
Kepada mereka dia menunjukkan dirinya setelah penderitaannya selesai, dan dengan banyak tanda Ia membuktikan, bahwa dia hidup. (Kisah Para Rasul [1] :3)
Gagasan tentang messianisme seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, sudah menjadi bagian dari banyak agama didunia ini. Menyatunya tokoh Yesus Kristus yang dipahami oleh umat Kristiani akan datang menjelang hari kiamat dengan ketokohan Imam al-Mahdi didalam Islam yang juga punya misi serupa seolah merupakan paduan mimpi-mimpi banyak orang yang bercita-cita akan terwujudnya dunia yang damai dan penuh keadilan. Tidak heran bila beberapa ulama Islam mengambil jarak dan bersikap hati-hati terhadap riwayat-riwayat tersebut.
Bagaimanapun, eksistensi Imam Mahdi yang konon berdasar sejumlah nash merupakan trah dari Nabi akhir zaman Muhammad Saw selaku satria piningit yang akan menghilangkan kezaliman serta keangkaramurkaan menjadi berkurang perannya dengan keberadaan Nabi Isa yang disebut-sebut melalui tangannya sang Dajjal justru akan menemui kehancuran.
Ulama-ulama tadi berpikir tentang ketidakkonsistenan cerita serta tujuan kehadiran Imam Mahdi dan Nabi Isa ditengah umat manusia. Sama halnya dengan mengecilkan posisi kenabian Muhammad Saw sebagai Khatamun Nabiyyin terhadap Nabi-nabi bangsaIsrael. Padahal al-Qur’an belum pernah menceritakan perubahan misi Nabi Isa al-Masih dari yang tadinya bersifat lokal kedaerahan (hanya untuk umat Israel) menjadi universal (kepada semua manusia).
Ibnu Khaldun dalam kutipan Muhammad Husain Haekal, mengatakan :
Kita tidak harus percaya akan kebenaran sanad sebuah hadis, juga tidak harus percaya akan kata-kata seorang sahabat terpelajar yang bertentangan dengan al-Qur’an, sekalipun ada orang-orang yang memperkuatnya.
Beberapa pembawa hadis dipercayai karena keadaan lahirnya yang dapat mengelabui, sedang batinnya tidak baik. Kalau sumber­sumber itu dikritik dari segi matn (teks), begitu juga dari segi sanadnya, tentu akan banyaklah sanad-sanad itu akan gugur oleh matn. Orang sudah mengatakan bahwa tanda hadis maudhu’ (buatan) itu, ialah yang bertentangan dengan kenyataan al-Qur’an atau dengan kaidah-kaidah yang sudah ditentukan oleh hukum agama (syariat) atau dibuktikan oleh akal atau pancaindra dan ketentuan-ketentuan axioma lainnya. (Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Penerbit Litera AntarNusa, Cetakan ke-22, Juni 1998, hal. Xcvii)
Haekal juga berkata kalau orang mau berlaku jujur terhadap sejarah, tentu mereka menyesuaikan hadis itu dengan sejarah, baik dalam garis besar, maupun dalam perinciannya, tanpa mengecualikan sumber lain yang tidak cocok dengan yang ada dalam al-Qur’an. Yang tidak sejalan dengan hukum alam itu diteliti dulu dengan saksama, sesudah itu baru diperkuat dengan yang ada pada mereka, disertai pembuktian yang positif, dan mana-mana yang tak dapat dibuktikan seharusnya ditinggalkan. (Lihat : Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Penerbit Litera AntarNusa, Cetakan ke-22, Juni 1998, hal. Xcix)
Saya tidak menolak hadis-hadis yang dinisbatkan pada diri Rasulullah, baik yang datang dari kelompok Ahli Sunnah, Syiah maupun yang lainnya. Tetapi saya juga tidak bisa menerima semuanya tanpa boleh melakukan kritik dan penyaringan ulang termasuk dalam hal turun serta naiknya Isa al-Masih kelangit antah berantah ini.
Dalam hal ini ada sebuah riwayat yang dinisbatkan dari Imam Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu yang sangat saya sepakati isinya :
Sesungguhnya hadis-hadis yang beredar dikalangan orang banyak, ada yang haq dan ada yang batil. Yang benar dan yang bohong. Yang nasikh dan yang mansukh, yang berlaku umum dan khusus. Yang Muhkam dan yang Mutasyabih. Adakalanya ucapan-ucapan Rasulullah SAW itu memiliki arti dua segi, yaitu ucapan yang bersifat khusus dan yang bersifat umum. Maka sebagian orang mendengarnya sedangkan ia tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW. Lalu sipendengar membawanya dan menyiarkannya tanpa benar-benar memahami apa artinya, apa yang dimaksud dan mengapa ia diucapkan. Dan tidak semua sahabat Rasulullah SAW mampu bertanya dan minta penjelasan dari Beliau. Sampai-sampai seringkali merasa senang bila seorang Badui atau pendatang baru bertanya kepada Beliau, karena merekapun dapat mendengar penjelasan beliau. (Sumber : Buku Mutiara Nahjul Balaghah, dengan pengantar Muhammad Abduh, Penerbit Mizan, Cetakan VII  Mei 1999, Halaman 83 )
Hadis maupun tafsir yang beredar tidak luput dari kisah Israeliyat, apalagi memang terbukti dalam sejarah bila sejumlah sahabat Nabi mencari tahu lebih lanjut dari ayat-ayat cerita didalam al-Qur’an yang berkaitan dengan bangsa Israel bukan sebuah rahasia. Umar ibnu Khatab, Abu Hurairah, Atha’ bin Jasar dan termasuklah Ibnu Abbas sebagai salah satu penafsir Qur’an terkemuka adalah orang-orang yang cukup intens dengan pengetahuan-pengetahuan yang ada didalam Taurat dan Injil.
Banyak hal yang mereka ingin ketahui seperti sifat-sifat Nabi didalam Taurat dan berbagai hal lainnya. Tempat mereka bertanya tentu saja orang-orang Ahli Kitab yang baru masuk Islam seperti diantaranya Wahb ibnu Munabbih, Ka’ab al-Akhbar, Abdullah ibnu Amr bin Ash dan lain sebagainya.
Bukan hal yang tidak mungkin jika informasi hadis yang disampaikan oleh para sahabat yang notabene mantan penganut ahli kitab dimasa lalu lebih banyak bersandar pada sisa-sisa kepercayaan lama mereka. Sehingga banyak kemudian tafsir-tafsir Israiliyat yang belum jelas benar dan salahnya justru merasuk kedalam khasanah tafsir al-Qur’an dan bagi orang awam cenderung diamini sebagai sebuah kebenaran mutlak.
Hadis-hadis yang berbicara tentang turunnya Nabi Isa al-Masih pun secara matan, tidak tertutup kemungkinan untuk dikoreksi kembali. Ada banyak perbedaan redaksi bahkan pada isi cerita mengenainya yang apabila kita coba adakan perbandingan secara silang akan ditemui sejumlah kontradiksi antara satu dengan yang lain. Satu contoh kecil saja kita sampaikan disini menyangkut tempat turunnya beliau. Al-Hafiz Ibn Katsir Dimasyqi atau yang biasa dikenal dengan nama Ibnu Katsir saja menyampaikan kepada kita beberapa riwayat yang saling berbeda.
Ada hadis yang mengatakan Nabi Isa akan turun di Yerusalem, menurut riwayat lain di Yordania, dan menurut riwayat yang lain pula turun dalam tempat perkemahan umat Islam –seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim–. Sedangkan yang populer adalah hadis yang menyebutkan Nabi Isa akan turun di Damaskus bagian timur. Tetapi menurut Ibnu Katsir ada kemungkinan periwayat mengubah matnnya dengan jalan dia meriwayatkan ekspresi tersebut dalam tata cara yang dia pahami .
Yang jelas adalah, tidak mungkin antara kebenaran yang satu dengan kebenaran yang lain saling berbeda atau berseberangan, tidak mungkin pula pada suatu ketika Nabi Muhammad berkata A mengenai hal tertentu kemudian berkata B tentang hal yang sama diwaktu yang berbeda. Satu diantaranya pasti benar atau semua riwayat tersebut justru tidak ada yang bisa dibenarkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar