Ditinjau
dari runutan sejarah, ide turunnya Nabi Isa al-Masih menjelang akhir
zaman pada awalnya berpangkal pada ide yang ada dalam teologi Kristiani.
Hal ini logis sekali karena memang gagasan tersebut jauh lebih dahulu
eksis ketimbang penafsiran yang ada didalam ajaran Islam yang baru ada
600 tahun hadir setelahnya.
Adapun
penafsiran bahwa Yesus naik kelangit dan akan turun kembali dari langit
dalam teologi Kristiani bersumber pada sejumlah ayat dari Alkitab di
Perjanjian Baru. Misalnya Kisah para Rasul pasal 1 ayat 9 sampai dengan
11:
Sesudah Ia
mengatakan demikian, terangkatlah Ia disaksikan oleh mereka, dan awan
menutupnya dari pandangan mereka. Ketika mereka sedang menatap kelangit
waktu Ia naik itu, tiba-tiba berdirilah dua orang yang berpakaian putih
dekat mereka, dan berkata kepada mereka: “Hai orang-orang Galilea (yaitu
wilayah dimana Yesus paling sering berada dan melayani), mengapakah
kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga
meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti
kamu melihat dia naik ke surga”.
Jadi seperti
halnya Yesus yang terangkat naik ke langit, maka nanti akan turun dari
langit pula. Demikian pemahaman yang ada dalam teologi Kristiani.
Kenaikan Yesus tersebut, terjadi setelah beliau diceritakan selamat dari
peristiwa penyaliban yang dikenakan pada dirinya dan kembali ketengah
komunitas para murid serta keluarga besar lainnya di Yerusalem.
Injil Lukas
mencatat bahwa setelah pertemuan terakhirnya dengan para murid, Yesus
atau Nabi Isa mengajak mereka semuanya keluar dari kota Yerusalem sampai
didekat perbatasan kampung Bethani.
Lalu Yesus
membawa mereka ke luar kota sampai dekat Betania. Di situ Ia mengangkat
tangannya dan memberkati mereka. Dan ketika Ia sedang memberkati mereka,
Ia berpisah dari mereka dan terangkat ke sorga. (Injil Lukas [24]
:50-51)
Adapun
mengenai isu terangkatnya Nabi Isa kelangit dalam perspektif Islam,
selalu dikaitkan dengan ayat pada surah An-Nisaa [4] ayat 157-158 dan
surah Ali Imran [3] :55 yang dianggap membenarkan konsep tersebut yang
sebenarnya hanya sebuah adopsi dari kepercayaan kaum Kristiani :
Dan
perkataan mereka: “Bahwa kami telah membunuh Al-Masih Isa putera Maryam,
Rasul Allah”, padahal tidaklah mereka membunuhnya dan tidak juga
menyalibnya, tetapi diserupakan untuk mereka. Orang-orang yang
berselisihan tentangnya selalu dalam keraguan mengenainya. Tiada
pengetahuan mereka kecuali mengikuti dugaan, dan tidaklah mereka yakin
telah membunuhnya. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa
kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.
An-Nisaa [4] :157-158)
Ketika Allah berkata: “Hai ‘Isa !
Sesungguhnya Aku akan mewafatkanmu dan akan mengangkat kamu kepadaKu
serta akan membersihkan kamu dari mereka yang kafir…” (QS Ali Imran [3]
:55)
Jika kita
ingin jujur terhadap nash al-Qur’an diatas maka sebenarnya ayat-ayat
tersebut malah sama sekali tidak ada keharusan untuk memaknai
pengangkatan Nabi Isa secara fisik keatas langit sebagaimana yang
terdapat dalam nash-nash di Alkitab. Kata asli untuk istilah
“penyerupaan” dalam konteks surah An-Nisaa [4] :157 adalah “Syubibha
lahum”.
Istilah ini
ditafsirkan oleh sebagian orang dilakukan oleh Allah terhadap diri Nabi
Isa al-Masih dengan proses substitusi atau pergantian wajah antara Nabi
Isa dengan seseorang. Tetapi sebagian lagi memberi penafsiran dilakukan
oleh Allah dengan membuat Nabi Isa al-Masih seolah berhasil dibunuh
padahal beliau hanya dipingsankan oleh Allah yang akhirnya berhasil
selamat. Jadi penyerupaan ini berlaku terhadap keterbunuhan diatas kayu
salib.
Pihak
pertama lalu menghubungkan penyerupaan dalam tafsirnya itu kepada
pengangkatan yang diceritakan pada ayat selanjutnya [158] ditambah
dukungan pada surah Ali Imran ayat 55. Istilah pengangkatan itu berasal
dari kata “Rafa’a”.
Sehingga
menurut mereka, menjadi bersesuaian maksudnya dengan penyerupaan yang
terjadi pada ayat yang membahas penyaliban. Sehingga akhirnya muncullah
terjemahan untuk surah An-Nisaa [4] :157 seperti berikut ini :
“Dan karena
ucapan mereka: “Sesungguhnya kami telah membunuh al-Masih, Isa putra
Maryam, Rasul Allah”, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula)
menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan
dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham
tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang
dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh
itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin
bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa”.
Padahal
terjemahan tersebut bila ditinjau dari sisi lahiriah ayatnya sama sekali
tidak bercerita mengenai penyerupaan Nabi Isa terhadap orang lain.
Begitupula dalam hal ketidakyakinan orang-orang Israel atas orang yang
mereka hukum adalah Nabi Isa. Ini merupakan bentuk penafsiran belaka dan
bukan penterjemahan dari ayat yang sesungguhnya.
Gagasan
naiknya seseorang kelangit antah berantah bila kita tarik lebih jauh
lagi merupakan ide yang diambil dari kitab-kitab Perjanjian Lama yang
masih sangat perlu untuk dikritisi. Misalnya :
Tiba-tiba
datanglah kereta berapi dengan kuda berapi memisahkan keduanya, lalu
naiklah Elia kelangit dalam angin badai. (2 Raja-raja [2] :11)
Jadi Henokh
mencapai umur tiga ratus enam puluh lima tahun. Dan Henokh hidup bergaul
dengan Allah, lalu ia tidak ada lagi, sebab ia telah diangkat oleh
Allah. (Kejadian [5] :23-24)
Akan halnya
penafsiran al-Qur’an surah Ali Imran ayat 55 yang dianggap mendukung
pengangkatan Nabi Isa kelangit juga kurang tepat. Istilah pengunaan kata
“Raf’a” pada sejumlah ayat al-Qur’an (seperti [7]:174, [12]:76,
[24]:36, dan [58]:11) semuanya menunjukan kepada pengertian pengangkatan
maqam atau derajat dan bukan secara jasmaniyah. Begitupula dengan
maksud dari kata “Mutawaffika” yang berarti mewafatkan. Dalam konteks
surah Ali Imran [3] :55, makna dari “Tawaffa” adalah “Imatah”
(mematikan), dan kematian itu telah terjadi sebelum Nabi Isa disebut
telah diangkat oleh Allah. Ayat tersebut tidak bisa diputarbalikkan
menjadi seperti ini:
Ketika Allah berkata: “Hai ‘Isa ! Sesungguhnya Akulah yang mengangkatmu kepadaKu dan yang mewafatkanmu.
Sebab hal
yang demikian menyebabkan seolah-olah menganggap Allah telah salah
menempatkan susunan kata didalam firman-Nya yang berimplikasi kepada
penistaan atas kemahasempurnaan dan kemahatahuan ilahiah-Nya. Kiranya
susunan ayat itu sudah sangat jelas dan tidak perlu ditukar-tukar
tempatnya oleh siapapun juga sebab dengan perbuatan-perbuatan semacam
ini terpaksa akan menyebabkan firman-firman Allah perlu dirubah
-sebagaimana halnya orang-orang Yahudi yang merubah-rubah
perkataan-perkataan dari tempatnya dan ini jelas sangat tercela didalam
Islam. Ayat tersebut harus tetap diartikan sesuai apa yang sudah
diwahyukan :
Ketika Allah berkata: “Hai ‘Isa ! Sesungguhnya Aku akan mewafatkanmu dan akan mengangkat kamu kepadaKu
Jadi ungkapan “Muttawaffika”
harus tetap diartikan bahwa: Aku akan melindungi engkau wahai Isa, dari
mati terbunuh oleh kaum itu dan akan menganugerahi engkau umur panjang
yang sudah ditetapkan bagi engkau, dan akan membuat engkau mati
secara biasa (wajar).; Penggunaan kata “rafi’uka ilayya”
(mengangkat engkau kepada-Ku) bisa ditarik persamaan dalam beberapa
ayat al-Qur’an lainnya, seperti : “Rumah-rumah yang diperintahkan Allah
supaya mereka diangkat (turfa’a)” dalam surah An-Nuur (24) ayat 36 atau “Dan amal salih yang akan dia angkat (yarfa’ahu) dalam surah Faathir (35) ayat 10 atau “Allah akan mengangkat (yarfa’i) orang-orang yang beriman dari kamu.” pada surah al-Mujaadilah (58) ayat 11.
Dengan demikian, penggunaan kata rafa’a
tidak selalu harus dalam arti harfiah seperti kita mengangkat batu
dari tanah keudara melainkan bisa juga dalam arti metafora yaitu dengan
memberikan kedudukan, kehormatan dan martabat yang tinggi disisi Allah.
Inilah yang seharusnya menjadi tafsir dan pemahaman ayat ini. Allah
berfirman dalam Al-Qur’an :
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya para Rasul. (QS. Ali Imran [3] :144)
Kami tidak
menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad),
maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal? (QS. Al-Anbiya [21]
:34)
Rasanya
ayat-ayat ini sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa Nabi Isa
al-Masih memang tidak diangkat dalam keadaan fisik atau berbadan
jasmani. Lebih tepatnya tidak dalam keadaan masih hidup. Hal ini
dikukuhkan juga oleh sabda Nabi Isa sendiri didalam al-Qur’an yang
isinya sebagai berikut :
Wakuntu
‘alayhim syahiidan maa dumtu fiihim falammaa tawaffaytanii kunta anta
(al)rraqiiba ‘alayhim wa-anta ‘alaa kulli syay-in syahiid(un)
Artinya :
Dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka. Maka setelah Engkau
wafatkan aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha
Menyaksikan atas segala sesuatu. (QS. Al-Ma’idah [5] :117)
Dalam salah
satu hadis riwayat Imam Bukhari yang bersumber dari Ibnu Abbas
diceritakan, Rasulullah bersabda, “Wahai manusia, kalian semua akan
dikumpulkan dihadapan Allah dengan bertelanjang kaki, tidak berpakaian
serta tidak berkhitan. Lalu beliau (mengutip ayat al-Qur’an dan)
berkata, “Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, maka
begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah janji yang pasti Kami tepati;
sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.” (QS. Al-Anbiyaa [21]
:104).
Nabi lalu
berkata, “Orang pertama yang dibangkitkan dalam keadaan berpakaian pada
hari kiamat adalah Ibrahim. Lalu beberapa orang dari sahabatku akan
digiring menuju neraka. Aku akan berkata, “Wahai Tuhan, mereka adalah
sahabat-sahabatku!”, lalu terdengar jawaban, “Engkau tidak mengetahui
apa yang mereka lakukan sepeninggalmu”. Aku akan mengatakan seperti
hamba yang saleh (yaitu Nabi Isa) berkata : “adalah aku menjadi saksi
terhadap mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkau-lah yang
mengawasi mereka”. (QS. Al-Ma’idah [5] :117). Lalu akan dikatakan, “Ini
adalah orang-orang yang menjadi murtad setelah engkau meninggalkan
mereka” (HR. Bukhari dengan nomor hadis 149, Vol. 6 dari kitab
shahihnya)
Firman Allah
yang berbunyi, “Wa-innahu la’ilmun li(l)ssaa’ati falaa tamtarunna bihaa
wa(i)ttabi’uuni haadzaa shiraathun mustaqiim(un) [Dan Sesungguhnya Isa
itu benar-benar memberikan pengetahuan tentang hari kiamat. Karena itu
janganlah kamu ragu-ragu tentang kiamat itu dan ikutilah Aku. inilah
jalan yang lurus (QS. Az-Zukhruf [43] :61)] bukan bercerita tentang
turunnya Nabi Isa diakhir zaman. Bila kita melihat susunan ayat ini
sesudahnya maka akan jelaslah bahwa konteks ayat tersebut bercerita
mengenai eksistensi Nabi Isa pada waktu beliau diutus ditengah Bani
Israel pada masa lalu.
Dan tatkala
Isa datang membawa keterangan dia berkata: “Sesungguhnya Aku datang
kepadamu dengan membawa hikmat dan untuk menjelaskan kepadamu sebagian
dari apa yang kamu berselisih tentangnya, Maka bertakwalah kepada Allah
dan taatlah (kepada) ku. Sesungguhnya Allah dialah Tuhanku dan Tuhan
kamu. Maka sembahlah Dia, Ini adalah jalan yang lurus”. Maka
berselisihlah golongan-golongan (yang terdapat) di antara mereka, lalu
Kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang zalim yakni siksaan hari
yang pedih. (QS. Az-Zukhruf [43] :63-65)
Kita tahu
bahwa sebagian besar Bani Israel, telah mereka menolak kenabian Isa
al-Masih. Bermacam-macam fitnah mereka arahkan kepada beliau. Mulai dari
anak hasil perzinahan, Rasul gadungan dan sebagainya sehingga akhirnya
beliau dikejar-kejar untuk dihukum mati melalui penyaliban yang
merupakan hasil konspirasi rabi-rabi jahat Yahudi. Pernyataan Nabi Isa
dalam dakwahnya mengenai keesaan Tuhan pada ayat diatas, bisa kita
paralelkan dengan sabda yang sama dari beliau pada surah Al-Maaidah [5]
:72, “Padahal Al-Masih sendiri berkata:”Hai Bani Israel, sembahlah
Allah, Tuhanku dan Tuhanmu !”.
Begitupun
dengan pernyataan beliau tentang penjelasan sebagian hal yang
menimbulkan perselisihan dikalangan umatnya, bisa kita paralelkan juga
dengan yang ada dalam surah Ali Imran [3] :50, “Dan (aku datang
kepadamu) membenarkan Taurat yang datang sebelumku, dan untuk
menghalalkan bagimu sebagian yang telah diharamkan untukmu, dan aku
datang kepadamu dengan membawa suatu tanda (mu’jizat) dari Tuhanmu.
Karena itu bertaqwalah kepada Allah dan ta’atlah kepadaku”.
Kaitan
antara kedatangan Nabi Isa yang disebut memberitahukan pengetahuan
tentang kiamat adalah tertuju pada peringatannya kepada Bani Israel
tentang hakekat hidup didunia ini yang hanya sementara. Adahari esok
yang menanti pertanggung jawaban semua kelakuan semasa hidup. Ini misi
yang diemban oleh setiap Nabi dan Rasul –termasuk oleh Muhammad Saw.
Bisa pula sabda tersebut berkorelasi dengan nubuat Nabi Isa tentang
kehadiran Nabi Muhammad selaku nabi akhir zaman seperti yang tertuang
dalam surah Ash-Shaaf [61] :6.
Jadi artinya
konteks ayat yang menyebutkan bahwa Nabi Isa itu benar-benar memberikan
pengetahuan tentang hari kiamat atau hari akhir adalah memberitakan
mengenai eksistensi Rasul yang akan datang sesudah beliau menjelang
akhir zaman
Dengan
begitu maka tidaklah tepat bila sampai dinyatakan kitab suci al-Qur’an
mendukung konsepsi kenaikan Nabi Isa secara fisik kelangit dan akan
turun kembali dari kenaikannya itu. Jikapun ada yang mengatakan seperti
ini, tentu hal tersebut hanyalah penafsiran sepihak dari sang mufassir.
Ide-ide kenaikan Nabi Isa seperti ini, mungkin –sebagaimana klaim dari
sebagian ulama—adalah pengaruh yang datang dari orang-orang Kristiani
yang pindah kedalam Islam dan melakukan korelasi tafsir antara al-Qur’an
dengan kitab mereka sebelumnya (Perjanjian Baru) seperti yang sudah
kita bahas dibagian atas.
Tidak
dipungkiri bila ada banyak hadis yang bercerita mengenai akan turunnya
Nabi Isa al-Masih yang dinisbatkan kepada sabda-sabda dari Nabi Muhammad
Saw. Sebagian ulama juga menyebut hadis-hadis itu mencapai tingkat yang
mutawatir. Sekali lagi kita sampaikan disini bila detil dari kajian ini
sudah pernah kita bahas pada buku Jejak Nabi Palsu, olehnya
tidak akan kita ulangi lagi disini kecuali seperlunya saja. Satu hadis
yang kita anggap mewakili ide turunnya Nabi Isa adalah :
“Demi Allah
yang diriku ada di tangan-Nya, benar-benar putera Maryam akan turun di
tengah-tengah kamu sebagai juru damai yang adil, lalu ia menghancurkan
salib, dan harta kekayaan melimpah ruah hingga tidak ada seorang pun
yang mau menerima (shadaqah atau zakat) dari orang lain, sehingga pada
waktu itu sujud satu kali lebih baik daripada dunia dan isinya”. (HR.
Bukhari, Bab Nuzuli Ibni Maryam ‘alaihissalaam 6:490-491; Shahih Muslim,
Bab Nuzuli ‘Isa Ibni Maryam ‘alaihissalaam Haakiman 2:189-191).
Pertanyaannya
sekarang, kira-kira untuk apa sebenarnya pengutusan Nabi Isa al-Masih
ini kedua kali ? Bukankah bersama kita saat ini sudah ada al-Qur’an,
bukankah sudah sempurna wahyu didalam Islam, bukankah sudah diutus Nabi
Muhammad yang posisinya juga sebagai “penghancur salib” dan “pembunuh
babi” ? Tidakkah kehadiran Nabi Muhammad dengan konsepsi monotheisnya
telah secara terang-terangan membatalkan konsepsi Trinitas yang
dinisbatkan kepada ajaran Nabi Isa oleh pihak gereja ? Tidakkah kitab
suci al-Qur’an secara jelas memberikan aturan-aturan tentang hal-hal
yang diharamkan dan dihalalkan termasuk mengenai babi ?
Bila Nabi
Isa masih hidup dan tinggal dilangit maka dilangit yang manakah Nabi Isa
berada ? Apakah disalah satu planet ? Mungkinkah kita bisa menemuinya
dengan perangkat teknologi antariksa tertentu disuatu masa ?
Lalu
bagaimana proses kenaikannya dari bumi menuju langit itu ? Apakah
seperti gambaran tokoh Superman dan Ultraman yang bisa melewati batasan
udara dan melalui atmosfir bumi yang gesekannya bahkan bisa
menghanguskan batu meteor dan pesawat sekalipun ?
Atau
berkhayal bila Isa punya karpet terbang ala film Aladdin ? atau beliau
ditidurkan lalu diangkat jasadnya seperti kasus penculikan oleh UFO
dalam cerita-cerita di film Hollywood?
- ilustrasi 3 kemungkinan dari cara naiknya Isa al-Masih kelangit menurut persepsi sebagian dari para mufassirin
Jika benar
Nabi Isa diangkat kelangit seperti gambaran tersebut, apakah ada saksi
matanya ? Jika ada bagaimana tanggapan mereka, dan apakah ada bukti
penunjangnya ? Injil Barnabas yang disebut-sebut sebagai kesaksian
kenaikan Nabi Isa Al-Masih tidak bisa dijadikan hujjah, sebab sudah
jelas letak kepalsuannya.
Apabila
memang Nabi Isa al-Masih masih hidup disuatu tempat dilangit, apa
manfaat positip pengasingannya selama ribuan tahun nun jauh diatassana?
Apakah tidak lebih bermanfaat bagi Isa untuk kembali kebumi dan
meluruskan ajarannya yang diselewengkan orang pada masa-masa perbudakan
Israel oleh Romawi ?
Bagaimanapun
juga selama berabad-abad manusia ini saling bertikai dan menumpahkan
darahnya salah satunya adalah karena masalah ajaran yang pernah dia bawa
selama hidupnya di Palestina sekitar 2000 tahun yang silam, menjadi
beban moral tersendiri baginya yang secara tidak langsung telah membuat
jutaan darah anak-anak manusia tertumpahkan selama perang salib atau
perang antara Katolik dan Protestan dan sebagainya.
Jika ia
masih hidup saat ini dan hanya mendiamkan saja semua yang terjadi atas
namanya apapun alasannya, maka Nabi Isa adalah orang yang paling
bertanggung jawab atas semua kejadian tersebut. Ketika pernah pada satu
pertempuran yang menegangkan, Nabi Muhammad berdoa kepada Allah agar
diberi kemenangan. Karena jika beliau sampai kalah maka tidak ada lagi
orang yang dapat menegakkan kebenaran sesudahnya. Bukankah inipun
menjadi indikasi tersendiri bila memang diwaktu pengutusan Nabi Muhammad
sudah tidak ada lagi satupun Nabi Allah yang masih hidup ? Tidakkah
kita mau memikirkan sekali lagi firman Allah ini:
(Nabi Isa
berkata : ) Dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka. Maka setelah
Engkau wafatkan aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah
Maha Menyaksikan atas segala sesuatu. (QS. Al-Ma’idah [5] :117)
Kebanyakan
dari kita terkadang terlalu berlebihan dalam memandang sosok para Nabi
dan Rasul sehingga nyaris menganggap mereka sebagai manusia langit yang
sama sekali tidak tersentuh dengan berbagai permasalahan duniawiah,
banyak dari kita berpikir bahwa seorang Nabi itu haruslah senantiasa
berkhotbah tentang akhlak, berkhotbah tentang ketuhanan, penuh mukjizat,
sakti mandraguna, suci tak bernoda dan tidak pernah melakukan kesalahan
sekecil apapun, tidak mungkin bisa dilukai apalagi dibunuh dan berbagai
sifat kedewaan lainnya yang akhirnya secara tidak langsung telah
melakukan pengkultusan dan menaikkan status kemanusiawian mereka diatas
manusia-manusia lainnya.
Al-Masih putera Maryam itu
hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya
beberapa Rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa
memakan makanan. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka
tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka
berpaling (QS. Al-Ma’idah [5] :75)
Tanyakanlah: “Siapakah yang dapat
menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al-Masih
putera Maryam itu beserta ibunya dan siapa saja diatas bumi semuanya ?”
(QS. Al-Ma’idah [5] :17)
Dalam
sejarah kenabian di al-Qur’an kita banyak melihat berbagai fenomena
penderitaan dan perjuangan Rasul-rasul terbaik Tuhan. Bagaimana misalnya
Nabi Ibrahim yang disebut sebagai kekasih Allah telah ditangkap dan
dibakar oleh umatnya kedalam api yang membara, kita juga membaca
bagaimana Nabi Yunus bisa sampai terperangkap kedalam perut ikan atau
Yusuf putera Nabi Ya’kub yang terjebak kedalam sumur oleh
saudara-saudaranya atau yang paling akhir adalah Nabi Muhammad sendiri
yang harus hijrah ke Madinah karena intimidasi kaum kafir Mekkah dan
perlakuan mereka yang buruk terhadapnya, dalam sebuah pertempuran
dibukit Uhud, wajah beliau terluka dan nyaris terbunuh.
Semuanya
menyajikan data-data historis insaniah para Nabi dan Rasul Tuhan yang
hidup dan berinteraksi sebagaimana manusia normal lainnya. Lalu kenapa
dalam hal Isa al-Masih yang umatnya disebut oleh Qur’an sebagai umat
yang terbiasa membunuh para Nabi harus mendapat pengecualian dengan
mengharuskannya “terhindar secara luar biasa” dari perlakuan umatnya?
Kesabaran
para Nabi dalam menghadapi ujian selalu mendatangkan pertolongan dari
Allah, namun tidak pernah Allah menolong dengan cara menggantikan ujian
tersebut kepada diri orang lain sehingga bukan sang nabi yang menghadapi
ujian namun justru orang lainlah yang mendapatkan ujian tersebut.
Pertolongan Allah bekerja dengan cara yang latief (halus) melalui ujian,
kesabaran, dan keteguhan dari sang Nabi dan para murid (sahabat)nya.
Injil Lukas pasal 22 ayat 43 didetik-detik menjelang penangkapan bercerita kepada kita : “Maka seorang malaikat dari langit menampakkan diri kepadanya untuk memberi kekuatan kepadanya”.
Bila yang
dimaksud dengan memberi kekuatan pada ayat tersebut adalah memberi
semangat agar Nabi Isa tabah menerima kehendak Allah yang akan berlaku
pada dirinya, maka sekali lagi kita ajukan juga apa yang disampaikan
oleh Paulus dalam Kitab Ibrani pasal 5 ayat 7 : “Dalam hidupnya
sebagai manusia, ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan
ratap tangis dan keluhan kepada-Nya yang sanggup menyelamatkannya dari
maut, dan karena kesalehannya, beliau telah didengarkan”. Jadi dari
ucapan Paulus diatas kita bisa mengambil asumsi kuat bahwa Isa al-Masih
telah ditolong oleh Tuhan dari kematian (maut) yang bisa menimpanya
dalam proses yang akan dia hadapi (inilah makna dari kata-kata “beliau
telah didengarkan” yang artinya permintaan untuk selamat dari maut
dikabulkan).
Kepada
mereka dia menunjukkan dirinya setelah penderitaannya selesai, dan
dengan banyak tanda Ia membuktikan, bahwa dia hidup. (Kisah Para Rasul
[1] :3)
Gagasan
tentang messianisme seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, sudah
menjadi bagian dari banyak agama didunia ini. Menyatunya tokoh Yesus
Kristus yang dipahami oleh umat Kristiani akan datang menjelang hari
kiamat dengan ketokohan Imam al-Mahdi didalam Islam yang juga punya misi
serupa seolah merupakan paduan mimpi-mimpi banyak orang yang
bercita-cita akan terwujudnya dunia yang damai dan penuh keadilan. Tidak
heran bila beberapa ulama Islam mengambil jarak dan bersikap hati-hati
terhadap riwayat-riwayat tersebut.
Bagaimanapun, eksistensi Imam Mahdi yang konon berdasar sejumlah nash merupakan trah
dari Nabi akhir zaman Muhammad Saw selaku satria piningit yang akan
menghilangkan kezaliman serta keangkaramurkaan menjadi berkurang
perannya dengan keberadaan Nabi Isa yang disebut-sebut melalui tangannya
sang Dajjal justru akan menemui kehancuran.
Ulama-ulama
tadi berpikir tentang ketidakkonsistenan cerita serta tujuan kehadiran
Imam Mahdi dan Nabi Isa ditengah umat manusia. Sama halnya dengan
mengecilkan posisi kenabian Muhammad Saw sebagai Khatamun Nabiyyin
terhadap Nabi-nabi bangsaIsrael. Padahal al-Qur’an belum pernah
menceritakan perubahan misi Nabi Isa al-Masih dari yang tadinya bersifat
lokal kedaerahan (hanya untuk umat Israel) menjadi universal (kepada
semua manusia).
Ibnu Khaldun dalam kutipan Muhammad Husain Haekal, mengatakan :
Kita tidak
harus percaya akan kebenaran sanad sebuah hadis, juga tidak harus
percaya akan kata-kata seorang sahabat terpelajar yang bertentangan
dengan al-Qur’an, sekalipun ada orang-orang yang memperkuatnya.
Beberapa
pembawa hadis dipercayai karena keadaan lahirnya yang dapat mengelabui,
sedang batinnya tidak baik. Kalau sumbersumber itu dikritik dari segi
matn (teks), begitu juga dari segi sanadnya, tentu akan banyaklah
sanad-sanad itu akan gugur oleh matn. Orang sudah mengatakan bahwa tanda
hadis maudhu’ (buatan) itu, ialah yang bertentangan dengan kenyataan
al-Qur’an atau dengan kaidah-kaidah yang sudah ditentukan oleh hukum
agama (syariat) atau dibuktikan oleh akal atau pancaindra dan
ketentuan-ketentuan axioma lainnya. (Muhammad Husain Haekal, Sejarah
Hidup Muhammad, Penerbit Litera AntarNusa, Cetakan ke-22, Juni 1998,
hal. Xcvii)
Haekal juga
berkata kalau orang mau berlaku jujur terhadap sejarah, tentu mereka
menyesuaikan hadis itu dengan sejarah, baik dalam garis besar, maupun
dalam perinciannya, tanpa mengecualikan sumber lain yang tidak cocok
dengan yang ada dalam al-Qur’an. Yang tidak sejalan dengan hukum alam
itu diteliti dulu dengan saksama, sesudah itu baru diperkuat dengan yang
ada pada mereka, disertai pembuktian yang positif, dan mana-mana yang
tak dapat dibuktikan seharusnya ditinggalkan. (Lihat : Muhammad Husain
Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Penerbit Litera AntarNusa, Cetakan
ke-22, Juni 1998, hal. Xcix)
Saya tidak
menolak hadis-hadis yang dinisbatkan pada diri Rasulullah, baik yang
datang dari kelompok Ahli Sunnah, Syiah maupun yang lainnya. Tetapi saya
juga tidak bisa menerima semuanya tanpa boleh melakukan kritik dan
penyaringan ulang termasuk dalam hal turun serta naiknya Isa al-Masih
kelangit antah berantah ini.
Dalam hal
ini ada sebuah riwayat yang dinisbatkan dari Imam Ali bin Abi Thalib
Radhiallahu ‘anhu yang sangat saya sepakati isinya :
Sesungguhnya
hadis-hadis yang beredar dikalangan orang banyak, ada yang haq dan ada
yang batil. Yang benar dan yang bohong. Yang nasikh dan yang mansukh,
yang berlaku umum dan khusus. Yang Muhkam dan yang Mutasyabih.
Adakalanya ucapan-ucapan Rasulullah SAW itu memiliki arti dua segi,
yaitu ucapan yang bersifat khusus dan yang bersifat umum. Maka sebagian
orang mendengarnya sedangkan ia tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh
Rasulullah SAW. Lalu sipendengar membawanya dan menyiarkannya tanpa
benar-benar memahami apa artinya, apa yang dimaksud dan mengapa ia
diucapkan. Dan tidak semua sahabat Rasulullah SAW mampu bertanya dan
minta penjelasan dari Beliau. Sampai-sampai seringkali merasa senang
bila seorang Badui atau pendatang baru bertanya kepada Beliau, karena
merekapun dapat mendengar penjelasan beliau. (Sumber : Buku Mutiara
Nahjul Balaghah, dengan pengantar Muhammad Abduh, Penerbit Mizan,
Cetakan VII Mei 1999, Halaman 83 )
Hadis maupun
tafsir yang beredar tidak luput dari kisah Israeliyat, apalagi memang
terbukti dalam sejarah bila sejumlah sahabat Nabi mencari tahu lebih
lanjut dari ayat-ayat cerita didalam al-Qur’an yang berkaitan dengan
bangsa Israel bukan sebuah rahasia. Umar ibnu Khatab, Abu
Hurairah, Atha’ bin Jasar dan termasuklah Ibnu Abbas sebagai salah satu
penafsir Qur’an terkemuka adalah orang-orang yang cukup intens dengan
pengetahuan-pengetahuan yang ada didalam Taurat dan Injil.
Banyak hal
yang mereka ingin ketahui seperti sifat-sifat Nabi didalam Taurat dan
berbagai hal lainnya. Tempat mereka bertanya tentu saja orang-orang Ahli
Kitab yang baru masuk Islam seperti diantaranya Wahb ibnu Munabbih,
Ka’ab al-Akhbar, Abdullah ibnu Amr bin Ash dan lain sebagainya.
Bukan hal
yang tidak mungkin jika informasi hadis yang disampaikan oleh para
sahabat yang notabene mantan penganut ahli kitab dimasa lalu lebih
banyak bersandar pada sisa-sisa kepercayaan lama mereka. Sehingga banyak
kemudian tafsir-tafsir Israiliyat yang belum jelas benar dan salahnya
justru merasuk kedalam khasanah tafsir al-Qur’an dan bagi orang awam
cenderung diamini sebagai sebuah kebenaran mutlak.
Hadis-hadis
yang berbicara tentang turunnya Nabi Isa al-Masih pun secara matan,
tidak tertutup kemungkinan untuk dikoreksi kembali. Ada banyak perbedaan
redaksi bahkan pada isi cerita mengenainya yang apabila kita coba
adakan perbandingan secara silang akan ditemui sejumlah kontradiksi
antara satu dengan yang lain. Satu contoh kecil saja kita sampaikan
disini menyangkut tempat turunnya beliau. Al-Hafiz Ibn Katsir Dimasyqi
atau yang biasa dikenal dengan nama Ibnu Katsir saja menyampaikan kepada
kita beberapa riwayat yang saling berbeda.
Ada hadis
yang mengatakan Nabi Isa akan turun di Yerusalem, menurut riwayat lain
di Yordania, dan menurut riwayat yang lain pula turun dalam tempat
perkemahan umat Islam –seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim–.
Sedangkan yang populer adalah hadis yang menyebutkan Nabi Isa akan turun
di Damaskus bagian timur. Tetapi menurut Ibnu Katsir ada kemungkinan
periwayat mengubah matnnya dengan jalan dia meriwayatkan ekspresi
tersebut dalam tata cara yang dia pahami .
Yang jelas
adalah, tidak mungkin antara kebenaran yang satu dengan kebenaran yang
lain saling berbeda atau berseberangan, tidak mungkin pula pada suatu
ketika Nabi Muhammad berkata A mengenai hal tertentu kemudian berkata B
tentang hal yang sama diwaktu yang berbeda. Satu diantaranya pasti benar
atau semua riwayat tersebut justru tidak ada yang bisa dibenarkan.